Dua Sisi

Oleh : Heni Kurniawati
07-Jan-2009, 22:51:34 WIB

Senja yang basah, hujan masih menyisakan rintik-rintik kecil. Helena menatap jauh ke luar jendela, menerobos bulir-bulir sisa hujan. Hujan baru saja usai, namun mendung tebal masih menggelantung kuat di kelopak matanya. Seonggok kesedihan menusuk tepat di ulu hatinya. Helena tidak hanya sedih, tapi juga takut. Takut kehilangan apa yang telah ia miliki selama ini, takut kehilangan hari-hari indahnya bersama Edo. Helena tahu ia takkan sanggup meninggalkan Edo, ia sangat mencintai lelaki yang enam bulan ini mengisi relung-relung hatinya dan membuat hidupnya begitu ceria. Ditariknya nafas dalam-dalam, berharap agar seonggok kesedihan itu mereda. Bagaimana pun ia harus mengambil keputusan. Cinta hanya memiliki dua tujuan akhir, menikah atau berpisah. Bila pernikahan tak mungkin menjadi akhir kisah cintanya, ia harus menyiapkan diri untuk menerima tujuan akhir yang lain, berpisah. Dan baginya ini sulit. Sanggupkah aku berpisah dengan Edo? Hatinya bertanya perih. Tiba-tiba senja dirasakannya sangat dingin. Secangkir susu coklat panas tak mampu menghadirkan sedikit kehangatan. Setetes air mata ia basuh dengan air wudhlu karena adzan Maghrib telah terdengar. Dalam do’a panjangnya Helena memohon petunjuk agar keputusan yang akan ia ambil tidak menyakiti Edo, agar ia diberi kekuatan untuk menjalani hari-harinya tanpa Edo. Bagaimana pun ia dan Edo dilahirkan dari dua sisi yang berbeda, dan dua perbedaan prinsip itu tidak mungkin disatukan dalam sebuah pernikahan. Tidak mungkin satu kemudi bahtera kehidupan dikendalikan dua nahkoda yang tujuannya berbeda. Kembali air matanya menetes. Bayangan pertemuannya dengan Edo delapan bulan yang lalu perlahan muncul. Ketika itu Helena sedang observasi di sebuah obyek wana wisata di kota Pandaan untuk mencari bahan presentasi mata kuliah Tourism dan Edo menghalangi pandangannya pada sebuah papan sejarah tentang wana wisata air terjun itu. “Excuse me, Miss, can you…”Orang itu menoleh sebelum Helena menyelesaikan kalimatnya. “Miss...? Anda bicara pada saya…?” “Maaf, saya kira anda turis perempuan, habis rambut anda bagus dan pirang. Saya kira tadi anda memakai bando…,” jawab Helena malu. “Oh…, jadi saya seperti bule?” Helena kebingungan, tak tahu harus menjawab apa. Orang yang dipanggilnya Miss ternyata adalah seorang pemuda tampan dengan rambut pirang gondrong lurus sebahu dengan kacamata hitam menempel di kepalanya, yang tadinya ia kira bando. “Maaf…,” ucapnya salah tingkah. “Aku Edward, Edward Simamora. Panggil saja Edo,” ia mengulurkan tangan. “Saya…” “Oh, biar kutebak. Bandul kalungmu itu pasti initial namamu. “HL” hmm…siapa ya. Hilda Lestari, Henny Lulitasari, atau…” “Helena Laily. Panggil Helena saja ya,” sahut Helena. “Oke. Nama yang indah, secantik orangnya. Kukira kita seumuran, jadi jangan canggung ber-aku kamu ya. Anggap saja kita sudah lama kenal.”Sejenak Helena mengamati pria di depannya. Tampaknya ia sosok yang menyenangkan. “Kamu sendirian?” tanya Edo. “Iya, lagi observasi untuk presentasi mata kuliah Tourism. Aku semester V Sastra Inggris.”“Oh, kebetulan dong, aku juga sendiri. Aku hobi memotret terutama alam. Aku kuliah di Komunikasi, semester akhir, lagi nulis skripsi.” Sejak itu mereka semakin akrab. Edo mempunyai pribadi yang sangat menyenangkan. Selain fleksibel, ia juga humoris, rendah hati dan suka menolong. Kebetulan juga kampus Edo tidak jauh dari kampus Helena. Helena sering menghabiskan waktu bersama Edo. Ke perpustakaan umum, jalan ke mall, toko buku, ke warnet, atau sekedar nongkrong di Kafe Biru menikmati jagung bakar. Dua bulan kemudian, mereka sepakat untuk pacaran. Helena sangat bahagia ketika Edo mengungkapkan perasaan cintanya karena ia memang telah jatuh cinta pada Edo. Di sisi Edo, kehidupan Helena begitu berwarna. Edo sangat perhatian dan sayang padanya. Setiap kesempatan luangnya selalu ia habiskan bersama Edo. SMS-SMS romantis Edo tak pernah absen mengisi handphone-nya. Ia juga tak akan beranjak tidur sebelum mendengar suara Edo. Helena merasa Edo-lah sosok yang paling sempurna yang ia dambakan untuk mendampingi hidupnya kelak. Namun Helena sadar bahwa ia tidak akan bisa mewujudkan impiannya untuk menjadi orang yang akan mendampingi Edo selama hidupnya. Sebuah kenyataan pahit menghalangi keduanya. Kenyataan yang membuatnya terjaga dari angan-angan untuk merajut indahnya kehidupan bersama Edo. Kenyataan ini menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak pernah berani ia lontarkan pada Edo. Pertanyaan tentang mengapa Edo tidak pernah bisa menemaninya siaran English Program di radio kampus pada Minggu pagi. Pertanyaan tentang mengapa Edo selalu siap mengantarnya ke perpustakaan umum pada Jum’at siang. Dan pertanyaan tentang mengapa Edo tidak pernah bercerita tentang kegiatan-kegiatan Remas. Helena melipat mukena. Perlahan ia baringkan tubuh. Ia biarkan pikiran dan hatinya terseret arus kebimbangan. Helena merasa arus itu semakin deras, hingga ia tidak kuasa melawannya. Tuhan, sudah benarkah apa yang ia putuskan? Apakah Edo akan sangat tersakiti akan keputusannya? Hatinya berontak, ia sungguh tidak ingin menyakiti Edo, orang yang selama ini menempati ruang istimewea dalam hatinya. “Ada SMS, ada SMS,” message alertnya berbunyi. Dari Edo, Helena bergegas membukanya. “Sayang lagi ngapain? Sudah ma’em belum? Aku lagi badminton lawan Denny, nih.”“Lagi belajar, jagoan aku harus menang malam ini ya…,” balas Helena berbohong. “Pasti dong, ntar malem tak telpon sebelum bobo’ ya.” Helena mematikan handphonenya. Ia sangat bingung. Ia ingin berfikir jernih malam ini. Berfikir tentang bagaimana mengakhiri kisah cintanya dengan Edo tanpa menyakiti pria pujannya itu. Edo begitu baik, tak pernah sedikit pun menyakitinya. Helena tidak sanggup melihat Edo bersedih karena kehilangannya. Bagaimana ia akan menemui Edo dan membicarakan perpisahan mereka? Dibalikkannya badan ke kiri. Sekuat tenaga Helena berusaha memejamkan mata. “Ya Allah, beri hamba petunjuk,” doanya dalam hati. Pagi sangat dingin ketika Helena menyelesaikan sholat subuh. Secangkir teh hangat mengawali harinya. Kembali hatinya gamang, namun dicobanya untuk meyakinkan diri bahwa keputusannya telah benar. “Aku harus mengakhiri ini semua, sebelum cintaku pada Edo semakin kuat dan tak bisa dihapuskan,” jerit hatinya pilu. Diambilnya selembar kertas. Helena berharap surat itu menyelesaikan semuanya karena ia tak akan sanggup menemui Edo untuk mengakhiri hubungan mereka. Begetar tangannya memegang pena. Sekali lagi, ia berusaha menguatkan hatinya. Bagaimana pun juga cintanya pada Edo tidak boleh melebihi cintanya pada Edo, dan perpisahan adalah jalan terbaik bagi mereka. “Ya Allah jagalah Edo untuk hamba,” bisiknya memohon. Dear Edo, Enam bulan perjalanan cinta kita telah membuat hari-hariku sangat indah. Cintaku padamu semakin hari semakin menguat. Aku pun merasakan hal yang sama darimu. Edo, aku adalah orang yang sangat menghargai cinta. Aku tahu engkau pun demikian. Hari demi hari aku berharap agar engkaulah yang akan menjadi sandaran hidupku kelak. Aku berharap kita akan selalu bersama selamanya, saling mencintai dan menguatkan. Edo, tahukan engkau kalau cinta hanya mempunyai dua pilihan akhir, menikah dan berpisah. Tentu saja aku menginginkan pilihan yang pertama. Tetapi Edo perbedaan prinsip antara kita tidak mungkin menyatukan kita dalam sucinya ikatan pernikahan. Aku tidak mungkin mencintaimu lebih dari cintaku pada-Nya. Kukira engkau pun demikian. Edo, sebelum perasaan cintaku padamu melekat kuat hingga sulit dihapuskan, aku harus mengakhiri hubungan kita sampai di sini. Maafkan aku Edo, semoga ini jalan yang terbaik buat kita. Jaga diri ya, aku ingin engkau baik-baik saja, meskipun tanpa aku. Yang mencintaimu, Helena Helena menghapus setitik air mata yang jatuh tak tertahankan. Dilipatnya surat itu sebelum dimasukkan pada amplop putih pucat. Segera ia mengambil beberapa stel pakaian dan memasukkannya dalam koper. Diputuskannya untuk menjauh dari Edo beberapa minggu, demi menghilangkan kesedihan dan menguatkan hatinya. “Edo, maafkan aku,” batinnya perih. Dalam benaknya terlintas kota Solo, tempat neneknya tinggal. Helena berharap suasana pedesaan dan kesibukan membatik di kampung neneknya akan membantunya melupakan Edo, sedikit demi sedikit. Helena menitipkan surat itu pada seseorang yang sedang membersihkan halaman rumah Edo. Helena tahu, Minggu pagi begini Edo pasti sedang tidak di rumah. Pelan ia ucapkan kata selamat tinggal dan tak lama kemudian, taksi beranjak membawanya ke terminal bis antar kota.

(*)Glossary : Bando : Hiasan rambut wanita
Ma'en : Makan

Sumber : http://kabarindonesia.com

1 komentar: